Makkah mulanya adalah kota kecil yang sejak dulu dikenal sebagai
kota transit perdagangan. Penduduknya dikenal sangat piawai berbisnis. Dari
sini lahir beberapa konglomerat multinasional pada zamannya. Berkaitan dengan
sukses usaha mereka, Alloh Azza wa Jalla telah mencatatnya
dalam al-Qur’an, “Karena kebiasaan orang-orang Qurasy, (yaitu)
kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas.” (QS. Al-Quraisy: 1-2)
dingin dan musim panas.” (QS. Al-Quraisy: 1-2)
Ada beberapa konglomerat yang sangat dikenal pada saat itu. Satu di antaranya
adalah
Khadijah, istri Rasululloh shallallahu alaihi wasalam sendiri. Modal Khadijah membengkak berlipat-ganda setelah perusahaannya dimanajeri oleh Pemuda Muhammad.
Akhirnya kedua insan itu menikah. Lalu jadilah suami-istri ini
dikenal luas sebagai pedagang yang sukses.Khadijah, istri Rasululloh shallallahu alaihi wasalam sendiri. Modal Khadijah membengkak berlipat-ganda setelah perusahaannya dimanajeri oleh Pemuda Muhammad.
Selain Khadijah, ada lagi konglomerat sukses bernama Uqbah bin Abi
Mu’ith. Ia dikenal sebagai pengusaha multinasional. Pada musim panas, ia berdagang
ke negara-negara di sebelah utara (Syam). Sedangkan pada musim dingin, ia
berdagang di negara-negara selatan (Yaman).
Sebagai bisnisman, Uqbah menjalin hubungan yang akrab dengan semua
kolega dan relasinya. Untuk itu ia tak segan-segan untuk mengeluarkan biaya
dari sakunya sendiri. Kadang mentraktir makan teman bisnisnya, tak jarang
mengundang makan-makan dalam acara tasyakuran. Dalam acara ini biasanya ia
mengundang para tokoh masyarakat, baik dari kalangan pengusaha maupun tokoh
berpengaruh lainnya.
Dalam suatu perjamuan makan, Uqbah mengundang RasulullohshallAllohu
alaihi wasalam sendiri dalam kapasitasnya sebagai tokoh masyarakat
yang berpengaruh. Kesempatan ini dimanfaatkan Rasululloh shallAllohu
alaihi wasalam sendiri untuk berdakwah. Ketika hidangan sudah
tersedia, RasulullohshallAllohu alaihi wasalam sendiri
berkata, “Wahai Uqbah, saya tidak akan makan hidangan anda sampai
anda bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan saya adalah Rasul-Nya.”
Secara spontan Uqbah menyanggupinya, dan tak lama kemudian ia
mengucapkan dua kalimah syahadah di hadapan orang banyak. Uqbah telah masuk
Islam.
Mengetahui keislaman Uqbah ini, teman-teman bisnisnya banyak yang
terkejut. Salah satu di antaranya adalah Ubay bin Khalaf. Ia menanyakan
kebenaran berita itu. Ia berkata, “Kamu sudah rusak, hai Uqbah.”
Apa jawab Uqbah? “Demi Alloh, aku tidak rusak. Aku lakukan hal itu
karena pada perjamuan makan itu ada seorang tamu. Ia tidak mau menyentuh
makananku sebelum aku bersaksi di hadapannya. Aku malu jika ada tamu yang
keluar dari rumahku sementara ia belum memakan hidanganku.”
Memahami sikap koleganya seperti ini, Ubay malah memanfaatkan
situasi. Ia katakan kepada Uqbah, “Aku tidak rela. Aku tidak ingin melanjutkan
hubungan perdagangan ini denganmu sampai kamu menyatakan keluar dari agama
Muhammad. Nyatakan hal itu di hadapannya. Caci maki dia di hadapan orang
banyak. Satu lagi, ludahi wajahnya.”
Uqbah terkejut. Ia tidak menyangka jika kesaksiannya di hadapan
Muhammad akan berakibat fatal seperti ini. Sebagai pebisnis tulen, ia hanya mau
tahu keuntungan. Dalam kepalanya, semua kegiatannya dihitung berdasarkan untung
rugi. Ia rela mengeluarkan biaya besar dalam acara tersebut tak lain
bertujuan untuk menjalin relasi bisnis, yang ujung-ujungnya adalah laba bisnis.
Rumus bisnis telah tertanam di kepalanya, yaitu mengeluarkan biaya untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Orang semacam Uqbah ini pada dasarnya tidak mempunyai agama dan
ideologi. Keuntungan itulah ideologinya. Ia tak pernah peduli apa agama yang
dipeluk seseorang. Yang penting baginya adalah bisnisnya aman. Siapa saja yang
bisa diajak bisnis dan menguntungkan, diajaknya berteman. Saudara dekatnya
sendiri jika tidak bisa diajak bisnis tak akan diajak berteman. Dalam menjalin
relasi ia tak peduli apakah seorang Nasrani, Yahudi, Majusi, atau Islam.
Setelah menghitung untung-ruginya secara matang, atas desakan
Ubay, akhirnya ia menemui Rasululloh shallallahu alaihi wasalam. Di
hadapan Rasululloh shallallahu alaihi wasalam sendiri ia
menyatakan keluar dari Islam. Iapun mencaci-maki dan tak lupa meludahi wajah
beliau yang suci. Atas perlakuan ini Rasulullohshallallahu alaihi wasalam bersabda,
yang artinya: “Kelak engkau akan keluar dari Makkah dari bukit sebelah
itu, dan aku akan menyambutmu dari bukit sebelah itu. Pada saat itu engkau
menyesali perbuatanmu.” Dalam riwayat yang lain, ludahnya kembali ke wajahnya
dan membakar pipinya. Luka bakar pipinya itu tak pernah sembuh sampai dibawa ke
liang kuburnya.
Apa yang dikatakan Rasulullohshallallahu alaihi wasalam sendiri
semuanya benar. Uqbah keluar dari Makkah, ikut perang Uhud. Dalam peperangan
itu ia tertawan. Tangannya terbelenggu dan lehernya dipancung. Ia menyesal atas
perlakuannya yang lebih memilih kawan bisnis daripada kawan yang sebenarnya.
Agar peristiwa ini dijadikan ibrah dan pelajaran yang berharga bagi kaum
muslimin, maka Alloh Azza wa Jalla mengabadikannya dalam
sebuah firman-Nya, yang artinya: “Dan (ingatlah) hari (ketika itu)
orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata, ‘Aduhai kiranya
(dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku;
kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya
dia telah menyesatkan aku dari al-Qur’an setelah al-Qur’an itu telah datang
kepadaku.’ Dan adalah syetan itu tidak mau menolong manusia.” (QS.
Al-Furqaan: 27-28)
Sejarah memang terus berulang. Apa yang terjadi saat ini
sesungguhnya merupakan pengulangan sejarah masa lalu. Isi dunia dari dulu hinga
sekarang tetap, tak mengalami perubahan. Yang pasti di dunia ini selalu ada dua
hal yang berpasangan. Ada baik, ada buruk. Ada orang yang berwatak dan
berakhlaq mulia, dan ada pula yang berwatak jahat. Itulah isi dunia.
Empat belas abad yang lampau sudah ada orang yang bernama Uqbah,
yang ideologinya uang. Pada masa kini, prinsip Uqbah sudah beranak bercucu.
Jumlahnya meningkat karena mengalami proses perkembangbiakan yang luar biasa.
Di saat materi menjadi isme, ajaran, dogma, dan nilai yang
dijadikan sebagai alat ukur dan barometer keberhasilan seseorang, maka meteri
menjadi sentral kehidupan. Secara berkelakar pernah seorang pakar dalam sebuah
diskusi yang diliput 4 televisi swasta mengatakan, “Untuk sukses saat ini
diperlukan 4 hal, yaitu: Satu, duit. Dua, uang. Tiga, fulus. Empat, money.”
Orang tidak lagi mengenal tetangga rumahnya, sebab persahabatan di
dunia sekarang, utamanya di kota-kota besar hanya didasarkan pada uang. Teman,
kenalan, sahabat bukan di rumah, tapi di kantor, di pasar, di gedung-gedung
bertingkat.
Suatu ketika ada seorang meninggal dunia. Para tetangganya tidak
tahu. Meskipun yang ikut merawat dan memakamkannya banyak, tapi semuanya adalah
kolega kerjanya. Begitulah gambaran pergaulan manusia sekarang. Bila ada yang
sakit, yang datang menjenguk bukan tetangga dekatnya, bukan pula saudaranya
yang karena sibuk mencari uang mereka terpencar entah di mana. Yang datang
menjenguk lagi-lagi adalah teman sekantor, teman sekerja, kolega usaha, paling
jauh anggota jama’ahnya, itupun kalau ada.
Pertemanan yang didasarkan atas kepentingan ekonomi sebenarnya
boleh-boleh saja. Rasululloh shallallahu alaihi wasalam tidak
melarangnya. Akan tetapi jika pertemanan ini harus mengorbankan aqidah,
syari’ah dan akhlaq, maka sebaiknya dihindari saja. Pertemanan
semacam ini hanya membawa manusia kepada kebinasaan, kehancuran, dan kehinaan
di sisi Alloh Azza wa Jalla. Tentang masalah pertemanan ini Alloh Azza
wa Jalla telah memberikan bimbingan kepada kita melalui firman-Nya,
yang artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan
dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan
dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Kita dibebaskan untuk memilih teman, koneksi, kolega, baik secara
pribadi-pribadi maupun secara institusi. Tapi satu hal yang pasti, hendaknya
kita lebih memilih teman dan sahabat yang sejati, yang selalu mengajak kita
menghadapkan wajah dan pikiran kepada Alloh Azza wa Jalla.
Boleh jadi berteman dengan mereka tidak mendatangkan keuntungan
materi yang bisa dinikmati dalam jangka pendek, tapi bersama mereka kita akan
meraih keuntungan besar dalam jangka panjang. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar